![]() |
Sumber : jateng.tribunnews.com |
MUSLIMIN
(ANGGOTA HIMPUNAN MAHASIWA ISLAM (HMI) CABANG PADANG)
Belum sampai satu hari
anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) selesai dilantik, mereka sudah seperti
sepuluh ekor kucing berebut satu makanan, mengaung dan mamaki-maki saingannya, mereka
yang berada di parlemen sudah menyuguhkan tontonan yang menarik dalam
melaksanakan perhelatan musyawarah yang kurang memiliki etika. Kericuhan
terjadi di Rapat Paripurna saat akan memilih ketua DPR periode 2014-2019 pada
rabu malam. Padahal ratusan anggota DPR 'baru' itu belum genap dilantik 24 jam.
Berbagai
kelakuan yang tidak seharusnya dilakukan pun saat itu terjadi, ada yang datang
kemeja pimpinan lalu memijit-mijit pimpinan sidang Popong Otje Djundjunan,
datang kepodiom untuk menanyakan
microfon yang mati dengan cara yang
tidak baik kemeja pimpinan, dan ada lagi kejadian palu sidang yang hilang.
Kelakuan-kelakuan aneh seperti ini disaat rakyat diseluruh Indonesia yang sudah
mulai bosan dengan sikap-sikap partai politik yang sibuk dengan memperebutkan
kekuasaan dan sekarang ditambah dengan kegaduhan saat sidang paripurna pertama
yang sesungguhnya usia dari anggota periode 2014-2019 belum sampai 24 jam.
Dengan
terjadinya hal seperti ini akhirnya membuat rakyat itu sendiri semakin alergi
dengan yang namanya politik, bagaimana mampu menjadi panutan bagi rakyat ketika
kelakuannya sendiri tidak patut untuk dicontoh. Seakan tidak mengetahui
bagaimana prosedurnya sebuah sidang, dengan santainya datang kemeja sidang dan
mengerasi pimpinan sidang, apakah seperti itu sidang yang harus dilakukan.
Asumsi
yang akan berkembang ditengah-tengah masyarakat adalah anggapan mereka tentang
kejadian hari ini, jangankan untuk periode selama lima tahun kedepan, belum
sampai 24 jam saja mereka sudah melakukan keributan seperti disebuah arena
perkelahian, sudah memperlihatkan sikap-sikap yang tidak baik kepada masyarakat
yang menyaksikan jalannya sidang dari seluruh penjuru negeri melalui layar
televisi.
Sangat
mengiris hati rasanya ketika orang yang kami percayai sebagai wakil kami yang
akan memperjuangkan nasib kami setidaknya untuk satu periode lima tahun kedepan
yang larut kedalam suasana yang sesungguhnya sama sekali tidak diharapkan oleh
rakyat yang mereka wakili. Belum lagi beberapa waktu belakangan ini bagai mana
anggota DPR periode sebelumnya (2009-2014) yang sangat memperlihatkan egoisme
politiknya dalam mempertahankan kepentingan partainya dan itu semua akan
membuat rakyat seakan tidak mau tahu lagi dengan keadaan Negara ini yang menjadi
ladang perebutan kekuasaan bagi elite-elite partai politik.
Jika
mereka hadir diruang sidang itu mempertahan kepentingan pribadi, partai dan
golongannya dapat dibayangkan berapa banyak lagi anggota DPR yang menjadikan
gedung parlemen itu sebagai arena perkelahian, belum lagi UU Pilkada yang telah
di sahkan oleh anggota DPR periode sebelumnya, yang jelas akan menambah jadwal
wakil rakyat itu untuk melakukan sidang paripurna khusus untuk tingkat
Kabupaten/Kota. Apalagi untuk persoalan siapa kepala daerah, jika orientasi
dari anggota DPR/DPRD ini tidak lagi rakyat yang diwakilinya maka mereka akan
menganggap posisi kepala daerah itu sebagai posisi yang strategis untuk
menjalankan kepentingan golongannya. Jika itu yang jadi acuan mereka, dapat
dipastikan akan hadir lagi suguhan tontonan-tontonan yang “menarik” digedung
parlemen. Karena suatu Partai/golongan tertentu menganggap pimpinan kepala
daerah itu harus dari golongan mereka dan partai/golongan sebelah juga seperti
itu bahwa pimpinan daerah itu harus dari mereka dan jelas akan terjadi lagi
pertarungaa-pertarungan yang asyik untuk ditonton itu.
Hari
ini, esok dan lusa apakah anggota DPR itu akan menyuguhnya tontonan yang
seperti ini terus dalam mengambil sebuah keputusan. Jika memang seperti ini
terus, dan rasanya akan lebih baik jika parlemen itu dibubarkan saja, dari pada
seperti ini terus akhirnya menanamkan nilai-nilai yang tidak baik
ditengah-tengah masyarakat, bahwasannya ketika dalam mengambil sebuah keputusan
kita itu harus ribut, ketika sidang berlangsung anggota sidang boleh datang
kemeja pimpinan dengan seenak hati nya saja, dan disaat dalam sidang yang maha
benar dengan segala firmannya itu adalah kita, kita harus menyangkal,
menyalahkan dan menganggap pendapat orang itu diluar konteks, pendapat orang
itu tidak benar dan kita harus memaksakan kehendak kita, bagaimanapun juga
hasil dari sebuah persidangan itu merupakan keinginan kita.
Jika
hal itu yang masih dipegang oleh anggota Dewan kita yang terhormat maka sampai
kapanpun Negara ini tidak akan pernah bersatu dalam harmonisasi yang nyaman
dalam bernegara. Karena pada dasarnya yang ada dalam gedung Parlemen itu
merupakan representasi dari seluruh rakyat Indonesia dan egoisme merupakan
subuah sifat yang akan menjadi jurang pemisah diantara kita sebagai warga
Negara maupun sebagai wakil rakyat diparlemen.
Harusnya
wakil-wakil rakyat itu menahan egoisme-egoisme yang akan menambah citra-citra
tidak sedap dimata masyarakat, bagaimana dalam mengambil sebuah
keputusan-keputusan disebuah persidangan anggota DPR itu mampu menjadi sebuah
contoh bagi masyarakat, karena dalam hidup bermasyarakatpun semua warga Negara
akan dihadapkan dalam situasi yang sama untuk mengambil sebuah keputusan dan
sudah selayaknya masyarakat mengambil contoh kepada sidang yang berlangsung
didalam parlemen karena dalam Negara ini sidang yang dilakukan anggota DPR itu
merupakan musyawarah terbesar dalam bangsa ini yang menjadi representasi
masyarakat Indonesia yang heterogen ini dan atas dasar itu harusnya Anggota DPR
itu memberikan contoh yang baik dalam pengambilan keputusan.
Sudah
seharusnya juga mereka hadir digedung parlemen itu semata-mata untuk
kepentingan rakyat, tidak hanya sekedar “mengatas-namakan” rakyat saja.
Hadirnya meraka disana harus mereka artikan sendiri bahwa mereka disini untuk
rakyat bukan untuk pribadinya dan juga bukan untuk partainya tapi hanya untuk
rakyat yang sajatinya orang-orang yang mereka wakili.
0 komentar:
Posting Komentar