Senin, 28 November 2016

Gerindra Harus Tetap diluar Koalisi


Kegaduhan politik yang terjadi baru-baru ini, menyisakan cerita menarik dalam tubuh koalisi partai pengusung pemerintah. Kasus yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta non aktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok atas dugaan penistaaan agama yang dilakukannya pada saat kunjungan kerja di Kepulauan Seribu beberapa waktu yang lalu, membuat efek yang sangat serius bagi kalangan umat Islam di Indonesia terkait surat Al Maidah ayat 51. Ucapan yang dikeluarkan Ahok berujung kepada demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh umat islam pada tanggal 4 november lalu.
Dengan tingginya tekanan yang didapat pemerintah baik dari massa yang turun dalam demontrasi di Jakarta maupun di beberapa wilayah Indonesia lainnya, membuat Presiden Jokowi begitu aktif melakukan safari politiknya keberbagai ormas-ormas islam seperti PB Nahdatul Ulama dan PP Muhammadyah, aparat kemananan TNI dan Polri, maupun kepada tokoh-tokoh politik, seperti ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Gerindra Merapat?
Safari politik yang dilakukan oleh Presiden Jokowi kepada Prabowo Subianto, mengeluarkan pertanyaan baru, apakah Gerindra akan merapat ke koalisi pemerintah seperti halnya yang dilakukan oleh Partai Golkar dan PAN? Terlebih lagi pernyataan yang dikeluarkan oleh Prabowo setelah pertemuannya dengan Jokowi bahwa siap membantu pemerintah dimanapun dan kapanpun. Tentu pernyataan Prabowo tersebut tidak bisa kita anggap sebagai pernyataan yang biasa-biasa saja, terlebih lagi safari ke partai politik yang diakukan Jokowi hanya kepada Prabowo akan tetapi tidak dilakukan kepada Susilo Bambang Yudhoyono yang juga sebagai ketua umum partai dan tokoh politik yang cukup berpengaruh. Presiden Jokowi tentu melakukan safari dengan melihat posisi dan partai politiknya, hal ini sedikit menguatkan bahwa Presiden Jokowi mencoba untuk melakukan pendekatan agar Gerindra mau bergabung dengan koalisi pemerintah.
Jika hal tersebut terjadi, ini bukan suatu yang bagus dalam perpolitikan di Indonesia saat ini, apalagi jika melihat kedudukannya pemerintah didalam parlemen. Ketimpangan akan terjadi antara koalisi pemerintah dan oposisi akan semakin jauh. Saat ini saja, koalisi partai pendukung pemerintah diparlemen menggungguli partai non-pendukung pemerintah setelah bergabungnya Partai Golkar dan PAN beberapa waktu yang lalu.
Sebagai sebuah negara dengan menggunakan konsep Trias Politica, kehadiran parlemen sebagai lembaga legislatif yang memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan tentulah harus memiliki kekuatan yang berimbang. Koalisi pendukung pemerintah tidak boleh terlalu besar dan juga tidak boleh terlalu kecil, karena akan berpengaruh terhadap stabilitas pemerintahan maupun parlemen itu sendiri.
Pemerintah dan Parlemen harus tetap menjaga posisi Chek and Balance agar setiap kebijakan yang dikeluarkan memiliki pandangan yang berimbang. Hal ini akan terabaikan jika kekuatan pemerintah begitu besar dengan dukungan partai politik, dimana sebuah kebijakan yang dianggap tidak tepat sasaran ataupun tidak begitu berpihak kepada rakyat akan mudah mendapatkan legitimasi dari parlemen. Fungsi pengawasan tidak begitu baik disaat parlemen sebagian besar diisi oleh anggota-anggota DPR yang berasal dari partai pendukung pemerintah.
Oleh karena itu, sebagai salah satu partai besar dan juga memiliki anggota diparlemen yang cukup banyak, Partai Gerindra haruslah bertahan dengan posisinya saat ini. Kehadiran Gerindra sebagai partai yang berada diluar koalisi pemerintah sedikit dapat menjaga Chek and Balance, walaupun sebenarnya saat ini partai pengusung pemerintah sedikit mengungguli partai non-koalisi. Hal itu akan bertambah buruk ketika Gerindra tertarik untuk bergabung. 

Keberadaan PAN dan PPP harus dievaluasi
Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan, adalah partai yang sebenarnya diharapkan Jokowi untuk dapat memberikan dukungan disaat situasi politik mengalami kegaduhan karena isu agama. Sebagai partai yang berbasis Islam, PAN dan PPP mempunyai peranan besar dalam memberikan dukungan terhadap pemerintah. Namun, hal ini tidak begitu terlihat ketika aksi 11 November itu terjadi, sebagian kalangan menganggap bahwa PAN dan PPP seperti meninggalkan Presiden Jokowi ditengah gelombang tuntutan atas dasar penistaan agama islam.
Dengan kondisi seperti ini, Presiden dan partai koalisi yang lain mestinya melakukan konsolidasi kembali terkait bagaimana dukungan mereka terhadap Jokowi-JK. Persamaan pemikiran dan pandangan terkait persoalan ini harus dilakukan, PAN dan PPP merupakan partai yang sangat dibutukan oleh Presiden Jokowi, karena kedua partai tersebut merupakan partai politik yang memiliki basis massa dari kalangan islam. Akan tetapi jika evaluasi yang dilakukan adalah untuk mempertanyakan posisi PAN dan PPP didalam koalisi dan berpikir untuk meninggalkan kedua partai tersebut, ini bukanlah solusi yang bijak dan tepat. Jokowi- JK harus tetap didukung oleh partai yang agamis, setidaknya dalam kebijakan yang berkaitan dengan agama. Mengeluarkan PAN serta PPP dan menggantikannya dengan Partai Gerindra bukan solusi yang tepat kerena Partai Gerindra adalah partai yang nasionalis. Oleh karena itu, evaluasi koalisi harus dilakukan dan menguatkan konsolidasi dengan PAN dan PPP agar dapat menyatukan pandangan, serta mempertahankan posisi Partai Gerindra yang harus tetap berada diluar sebagai kekuatan penyeimbang. 

0 komentar:

Posting Komentar