Senin, 02 Maret 2015

Literasi Cicak Vs Buaya

Ketegangan antara lembaga penegak hukum kembali terjadi, ini untuk yang kesekian kalinya perestiwa yang lebih dikenal oleh publik sebagai pertarungan Cicak vs Buaya. Kasus cicak vs buaya pertama terjadi pada Juli 2009. Perseteruan tersebut berawal dari isu yang beredar adanya penyadapan oleh KPK terhadap Kabareskrim Mabes Polri saat itu, Komjen Susno Duadji. Susno dituduh terlibat pencairan dana dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna. Puncak kasus cicak vs buaya jilid I terjadi ketika Bareskrim Mabes Polri menahan dua Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Martha Hamzah.

Tiga tahun kemudian ketegangan lembaga hukum negara ini kembali terjadi pada awal Oktober 2012. Kasus ini dipicu oleh langkah KPK mengusut kasus dugaan korupsi simulator SIM yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Pada Jumat malam 5 Oktober 2012, puluhan anggota Brimob mengepung gedung KPK. Mereka berniat menangkap salah satu penyidik KPK, Komisaris Novel Baswedan yang dituduh terlibat aksi penganiayaan berat saat masih bertugas di Kepolisian Daerah Riau.

Kali ini di era pemerintahan Jokowi-JK, perseteruan lembaga penegak hukum ini kembali terjadi. Peristiwa yang diawali dengan penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka yang merupakan calon tunggal Kapolri, namun lebih dramatisnya adalah penetapan status tersangka ini terjadi sesaat akan dilakukan Fit and Propert test di DPR. Namun Komisi III DPR tetap melakukan Fit and Propert Test terhadap Komjen Budi Gunawan dan disetujui melalui sidang paripurna DPR sehari berselang, meskipun status Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka KPK dalam kasus rekening gendut yang dimilikinya namun pada akhirnya Presiden Jokowi menunda pelantikan Komjen Budi Gunawan Sebagai Kapolri.

Berselang sebalas hari setelah penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK, suatu peristiwa mengejutkan terjadi ketika wakil ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap oleh Bareskrim Polri. Penangkapan itu sontak membuat situasi menjadi memanas, berbagai reaksi publik terjadi. Alasan  Bambang Widjojanto ditangkap oleh Bareskrim Polri terkait kasus keterangan palsu soal penanganan sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah tahun 2010 seakan tak bisa diterima oleh orang-orang yang mengecam penangkapan itu, terlebih lagi cara menangkapan yang tidak etis ditambah dengan momen yang sangat berdekatan dengan penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka akhirnya membawa orang menduga-duga bahwa penangkapan ini terkait dengan penetapan tersebut.

Keadaan yang semakin rumit seperti ini mengakibatkan kegaduhan ditengah-tengah masyarakat, bermacam reaksi masyarakatpun mulai mengalir, dari reaksi yang wajar-wajar saja sampai yang tidak biasa. Terlebih lagi digedung KPK saat ini massa yang berkumpul bukan hanya orang-orang yang mendukung KPK, namun juga ada massa yang menuntut ketua KPK untuk mundur dari jabatannya terkait dengan informasi pertemuan Abraham Samad dengan Partai PDIP sebelum pemilihan presiden lalu. Hastag dimedia sosialpun tak kalah ramainya, ada yang #SaveKPK, #SavePolri, Cicak Vs Buaya, sampai Hastag #BubarkanPolri dan #BubarkanKPK. Namun tindakan seperti ini tidak akan menyelesaikan persoalan.

Mestinya yang harus kita lakukan sekarang adalah bersikap tenang dan harus teliti melihat siapa yang diuntungkan dan mencari untung dalam kondisi seperti ini, bahkan kita harus mengkaji apakah ada orang atau pihak tertentu dengan sengaja ingin menciptakan kondisi seperti ini yang  ingin mempolitisasi dua lembaga penegak hukum ini. Karena disisi Polri dengan disangkakannya Komjen Budi Gunawan, Kapolri dengan jabatan Pelakasana tugas (PLT) serta desakan mundurnya Kabareskrim baru juga dalam posisi yang lemah saat ini.

Dan disisi lain KPK dengan disangkakannya Bambang Widjojanto, dilaporkanya Adnan Pandu Praja oleh dua Advokat terkait pencurian saham ke Bareskrim Polri serta Wakil yang lain Zulkarnain juga dikabarkan akan tersandung serta kabar pertemuan Abraham Samad dengan PDIP yang terkuak kepermukaan publik tidak kalah lemahnya sebagai lembaga penegak hukum dipersulit lagi disaat wakil ketua KPK hanya tinggal tiga orang sepeninggal Busyro Muqaddas yang sudah berakhir masa tugasnya.

Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2002 Pasal 32 ayat 2 mengatakan pimpinan KPK yang menjadi tersangka harus diperhentikan sementara. Diberhentikan sementara ini tentu sampai perkaranya jelas dan selesai namun jika dilihat setiap perkara dari status tersangka itu memakan waktu yang lama hingga ada kejelasaan terhadap perkara itu, artinya jika pimpinan-pimpinan KPK itu disangkakan maka mereka akan diberhentikan sementara dan akhirnya KPK akan menjadi lemah secara sendirinya.

Dalam kondisi seperti ini, kebijaksanaan dari presiden juga kita nantikan sebagai mana apa yang telah dilakukan oleh presiden sebelumnya. Sudah selayaknya mempertimbangkan situasi ini tentang manfaat dan mudaratnya. Ketegasan dan komitmen presiden sangat dinantikan disaat masyarakat yang sudah dibuat gaduh dengan opini-opini yang berkembang. Sangat diharapkan Presiden mengeluarkan keputusan yang berpihak kepada pemberantasan korupsi namun tidak juga mengabaikan individu yang tersandung hukum dalam institusi KPK namun dengan proses yang jelas, objektif dan tidak memuat kepentingan. Karena jika situasi ini terus berlanjut, perseteruan KPK dan Polri yang merasa senang itu adalah para koruptor.

0 komentar:

Posting Komentar